Sabtu, 25 Juni 2011

Penngertian Akad dalam Transaksi Syariah

Penngertian Akad dalam Transaksi Syariah
Oleh: Khairunnisa Zainuddin

Kontrak atau akad dalam bahasa Arab adalah 'uqud jamak dari 'aqd, yang secara bahasa artinya: mengikat, bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat suatu perjanjian. Di dalam hukum Islam, 'aqd artinya “gabungan atau penyatuan dari penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan oleh pihak pertama.
Rukun akad ada tiga, yaitu: 1. sighah, yaitu pernyataan ijab dan qabul dari kedua belah pihak, boleh dengan lafad atau ucapan, boleh juga di lakukan dengan tulisan. Shighah, haruslah selaras antara ijab dan qabul-nya. Apabila satu pihak menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain haru menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai 100 rupiah pula, bukan benda B yang harganya 150 rupiah. Dalam sighah kedua belah pihak harus jelas menyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan, ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab 2 hari kemudian itu tidaklah sah. Ijab dan qabul juga harus dilakukan didalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama.
2. Aqidan, yaitu : para pihak yang akan melakukan akad. Kedua belah pihak yang akan melaksanakan akad ini harus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di suatu negara), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal yang sehat, harus dewasa (rushd) dan dapat bertanggung jawab dalam bertindak, tidak boros, dan dapat dipercaya untuk mengelola masalah keuangan dengan baik.
3. Mahal al-Aqd, atau objek akad yaitu : jasa, atau benda benda yang berharga dan objek akad tersebut tidak dilarang oleh syariah. Objek akad yang dilarang (haram) oleh hukum Islam adalah: alkohol, darah, bangkai, dan daging babi.
Kepemilikan dari objek akad harus sudah berada pada satu pihak, dengan kata lain, objek akad harus ada pada saat akad dilaksanakan, kecuali pada transaksi salam dan istisna. Objek akad harus sudah diketahui oleh kedua belah pihak, beratnya, harganya, spesifikasinya, modelnya, kualitasnya. Perlu di perhatikan di sini, di dalam hukum Islam, seseorang tidak diperbolehkan untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya, contohnya: menjual burung-burung yang masih terbang di udara, atau menjual ikan-ikan yang masih berenang di lautan lepas, karena tidak jelas berapa jumlah dan sulit untuk menentukan harga pastinya, yang berakibat pada ada nya unsur ketidak pastian atau gharar. Ketidak pastian atau gharar ini dapat membatalkan akad, sama halnya dengan riba (interest/bunga bank) dan maisir (judi). Ketiga unsur tersebut harus dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah.
Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada 2. yang pertama: shahih, atau sah, yang artinya semua rukun kontrak beserta semua kondisinya sudah terpenuhi, yang kedua batil, apabila salah satu dari rukun kontrak tidak terpenuhi maka kontrak tersebut menjadi batal atau tidak sah. Apalagi kalau ada unsur maisir, gharar dan riba di dalamnya.
Akad yang efektif dibagi lagi menjadi 2 , yaitu : 1. lazim (mengikat) dan ghayr allazim (tidak mengikat). Akad lazim adalah akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Contohnya : perceraian dengan kompensasi pembayaran properti dari istri yang diberikan kepada suami. Sedang akad ghayr al-lazim dapat dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya, contohnya dalam transaksi partnership

KAFALAH (GUARANTY)

KAFALAH (GUARANTY)
Oleh: Khairunnisa Zainuddin
1.      Pengertian Kafalah
Kafalah dapat diartikan jaminan yang diberikan oleh pihak penanggung (Kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengetian lain, Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Menurut Intuisi banker Indonesia dalm buku yang berjudul Konsep Produk dan Implementasi Operational Dalam Bank Syari’ah. Yang dimaksud definisi Kafalah adalah merupakan penjamin yang diberikan oleh penanggung (Kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung (Mahfulanhu) apabila pihak yang ditanggung cidera janji atau wanprestasi. Secara teknis perbankan dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabahnya sehubungan dengan pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian Kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.

2.      Landasan Hukum Kafalah
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat dipelajari dalam Al-Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf.

قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَآءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ {72}
Artinya : Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Q.S. Yusuf : 72).

Menurut Fatwa MUI tentang ketentuan umum Kafalah yaitu :
  • Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
  • Dalam akad Kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
  • Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

3.      Rukun dan Syarat Kafalah
  1. Pihak Penjamin (Kafil)
·        Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
·        Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan Kafalah tersebut.
  1. Pihak orang yang berhutang (Ashiil, Mkfuul ‘anhu)
·        Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
·        Dikenal oleh penjamin.
  1. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
·        Diketahui identitasnya.
·        Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
·        Berakal sehat.
  1. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
·        Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
·        Bila dilaksanakan oleh penjamin.
·        Harus merupakan piutang yang mengikat (lazim), yang tidak mungkin dihapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
·        Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
·        Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

Menurut mazhab Hanafi, rukun al-kafalah satu, yaitu ijab dan Kabul (al-jaziri, 1969:226). Sedangkan menurut para ulama lainnya rukun dan syarat al-kafalah adalah sebagai berikut:
·        Dhamin, kafil, atau za’im, yaitu orang yang menjamin dimana ia di syaratkan sudah baligh, berakal, tidak di cegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
·        Makful lahu/madmun lahu, yaitu orang yang berpiutang. Syaratnya ialah harus diketahui oleh orang yang menjamin.
·        Makful ‘anhu, yaitu orang yang berhutang.
·        Madmun bih atau makful bih adalah hutang itu sendiri, baik berupa uang atau barang.
·        Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatudan tidak berarti sementara.  

4.      Aplikasi Dalam Perbankan
Akad kafalah adalah jaminan yang di berikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ke tiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau di tanggung (makful ‘anhu). Diantara bentuk transaksi perbankan yang dapat menggunakan akad kafalah adalah bank garansi. Secara teknis pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada  nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja atau perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dengan pihak ketiga. Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa penjaminan yang  diberikan.

5.      Macam-macam Kafalah
M. Syafi’i Antonio memberikan penjelasan tentang pembagian kafalah sebagai berikut:
·        Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
·        Kafalah bi al-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
·        Kafalah bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee kepada nasabah tersebut.
·        Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).
·        Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.

6.      Manfaat Kafalah
Kafalah yang diberikan oleh bank sangat mendukung transaksi bisnis yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, karena dapat memberikan rasa aman dan kondusif bagi kelangsungan bisnis maupun proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kafalah memberian manfaat bagi :
·        Pihak yang dijamin (nasabah), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank, nasabah bisa mendapatkan/mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena biasanya pemilik proyek menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang mereka miliki.
·        Pihak yang terjamin (pemilik proyek), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank, pemilik proyek mendapat jaminan bahwa proyek yang akan dikerjakan oleh nasabah tadi akan diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, karena kafalah merupakan pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah cidera janji melaksanakan kewajibannya.
·        Pihak yang menjamin (bank), bahwa dengan kafalah yang diterbitkan oleh bank, maka pihak bank akan memperoleh fee yang diperhitungkan dari nilai dan risiko yang ditanggung oleh bank atas kafalah yang diberikan.

7.      Skema Kafalah

JAMINAN                                         KEWAJIBAN

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

PANCASILA SEBAGAI
ETIKA POLITIK
Oleh: Khairunnisa Zainuddin
A. Etika Politik
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik masyarakat yang erdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Karena itu,  etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan (b) tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.[1]
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:
  1. Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
  2. Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislatif maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
a.       Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
b.      Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
c.       Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)
d.      Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e.       Negara hokum demokratis/republican (Kant)
f.        Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g.       Keadilan sosial
B. Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).
1.      Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain.
Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
2.      Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a.       Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
b.      Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.
Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:
1)      Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hokum.
2)      Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
3)      Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup. Korupsi membuat mustahil orang mencapai sesuatu yang mutu.
Namun demikian, tidak dapat dimungkiri, sebagai bangsa Indonesia yang begitu majemuk. Aneka kelompok, baik yang mengikat diri secara kultural, ideologis maupun agamis, berkejaran dalam jagat ke-Indonesiaan. Sehubungan dengan itu, persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak akta pendirian bangsa ini adalah mewujudkan tatanan hidup bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta irrasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni, dan sebagainya.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memrlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:
  1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
  2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
Bersamaan dengan menggelindingnya demokratisasi, ke-berbagai-an (kebhinekaan) dan ke-berbagi-an (resource sharing) yang sempat dibungkam secara ideologis semasa Orde Baru kembali bernapas. Ke-berbagai-an dan ke-berbagi-an yang sayang sejak berdirinya bangsa ini tidak pernah diberi kesempatan belajar bagaimana hidup bersama dan berbagi secara rasional.
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:
  1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
  2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
  3. Korupsi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi W.M, “Pancasila sebagi Etika Politik dan Dasar Negara,” makalah ini disampaikan pada mata kuliah Pancasila di ICAS Jakarta, 06 November 2006
Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005.
Donny Gahral Adian, “Menyoal Dimensi Kultural Demokrasi“, Kompas, Opini, 22 Juli 2002.
Kastorius Sinaga, “Tentang Etika Politik“, Kompas, 9 April 2008.
M Alfan Alfian, “Dari Perbendaharaan Etika Politik”, The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 8 Juli 2008.
Sri Sultan Hamengku Buwono, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pidato Dies yang disampaikan dalam Temu Akbar Alumni Dies Natalis Ke-40 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2008.
Suseno, Franz-Magniz, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 2003


[1]Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005

PEMBUAT HUKUM (HAKIM )

PEMBUAT HUKUM (HAKIM )

Oleh: Khairunnisa Zainuddin
A. Latar Belakang
Untuk menguraikan latar belakang, maka penulis memberikan beberapa pengertian istilah Fiqh dan ushul fiqh, dan hukum, sehingga akan jelas, ada hukum yang dibuat oleh Pencipta manusia dan ada hukum yang dibuat oleh manusia yang asasnya bersumber dari Alqur’an dan hadis.  

Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari al-syari'ah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat disebut Islamic Law. Dalam Alqur'an dan Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun, yang digunakan adalah kata syari'at Islam, yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqh.

اِ ثْبَاتٌ شَئ عَلىَ شَئ اَوْ فـقـيه عنه

Artinya:
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya 
Dalam perkembangan ilmu fiqh/ushul fiqh yang demikian pesat, para ulama ushul fiqh telah menetapkan defenisi hukum Islam secara terminologi di antaranya yang dikemukakan oleh al Baidlawi dan Abu Zahra sebagai berikut: 
خِطَابُ الله اْلُمُتَعَلِّق بأفْعَالِ اْلمُكَلّفِـْيَن باِْلأقْتضَاءِ اَوِالتّخْيير اَوِاْلوَضَعِ
Artinya:
Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun bersifat wadl’iy (Al Baidlawi, 1982: 47).
 خِطَابُ الله اْلمُتَعَلقِ بِأَفْعَالِ اْلُمكَلّفِيْنَ طَلَباٌ اَوْ تَخْـيِـيْـرٌا اَوْوَضَعٌا


Artinya:
Khithab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan    orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan (perintah dan larangan) atau semata-mata menerangkan pilihan (kebolehan memilih) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang terhadap sesuatu hukum   (Muhammad Abu Zahrah, 1994: 26).  
Uraian di atas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum Islam. Sebab, kajiannya dalam perspektif hukum Islam, maka yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan manusia dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang bertalian dengan aqidah dan akhlaq.
Penyebutan hukum Islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at Islam atau fiqh Islam. Apabila syari’at Islam diterjemahkan sebagai hukum Islam (hukum in abstracto), maka berarti syari’at Islam yang difahami dalam makna yang sempit. Karena kajian syari’at Islam meliputi aspek i’tiqadiyah, khuluqiyah dan ‘amal syar’iyah. Sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari fiqh Islam, maka hukum Islam termasuk bidang kajian ijtihadi yang bersifat dzanni.
Pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Kalau demikian adanya, maka kedudukan fiqh Islam bukan lagi sebagai “hukum Islam in abstracto” (pada tataran fatwa atau doktrin) melainkan sudah menjadi “hukum Islam in concreto” (pada tataran aplikasi atau pembumian). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu aturan yang mengikat dalam suatu negara.
Untuk mendapatkan kejelasan pengertian hukum Islam, akan dikemukakan pengertian syari'ah dan  fiqh sebagai berikut.
B.  Pengertian hakim
             Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti,yaitu:
 Pertama:
  وَا ضِعُ اْلاَحكَامِ وَ مُْشبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
Artinya:
          pembuat hukum,yang menetapkan,memunculkan sumber hukum.

 Kedua:
الذِيْ يُدْ رِ كُ اْلاَ حْكَا مِ وَ يُظْهِرُهَا وَيُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya:
           yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.  

                  Dari defenisi diatas dapat di pahami bahwa(pembuat hukum)dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan dia pula yang menetapkan aturan aturan bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan kehidupan dunia maupun untuk kepentingan hidup akhirat. Hakim termasuk persoalan yang penting dalam ushul fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat islam,atau pembuat hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Di sepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan masalah peranan akal dalam menentukan baik buruknya segala sesuatu, Sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk di kenakan sangsi. 
Dari pengertian pertama tentang hakim diatas ,dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT,dialah pembuat hukum dan satu satunya pembuat hukum,dalam islam tidak ada syariat kecuali dari Allah SWT.

Tentang Kedudukan Allah sebagai satu-satunya Pembuat Hukum dalam pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam. Masalahnya adalah bahwa Allah debagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenal melalui perantara yang ditetapkan Allah itu, dalam hal ini adalah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1.      Pendapat mayoritas ulama Ahlusunnah mengatakan, bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan  Hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Menurut paham ini seorang manusia dapat  dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau berdosa bila telah datang Rasul membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang rasul.
2.       Kalangan ulama Kalam Mu’tazilah yang berpendapat bahwa memang rasulullah adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian, seandainya rasul belum datang mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, tetapi melalui akal yang diberikan Allah kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenal hukum allah itu. Atas dasar pendapat ini,maka sebelum kedatangan rasul pembawa hukum Allah itu, manusia telah dianggap patuh atau ingkar kepada Allah dan telah dianggap berhak mendapat balasan(pahala dan dosa) .

            Perbedaan pendapat di kalangan 2 kelompok ini terletek pada adanya taklif sebelum datangnya Rasul. Kelompok Ahlusunah menetapkan tidak ada taklif sebelum datangnya Rasul, karena jika hanya semata-mata dengan akal, manusia tidak mugkin dapat mengenal hokum Allah. Sedangkan ulama Mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya Rasul karma aakal manusia dapat menilai baik dan buruknya perbuatan manusia atas penilaian itu, maka akal mendorong manusia untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini berarti bahwa akal manusia dapat menyuruh manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Inilah yang dimaksud dengan taklif itu.
            Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa titik perbedaan pendapat 2 kelompok itu terletak dalam 2 hal:Pertama, nilai baik dan buruk dalam suatu perbuatan, kedua nilai baik dan buruk itu mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam memahami 2  hal tersebut terdapat 3 kelompok ulama:
1.      Kelompok Asy’ariyah ( Ahlusunah ) berpendapat bahwa suatu perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia tidak dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan.baik dan buruknya suatu perbuatan terletak pada disuruh atau dilarangnya oleh Allah melalui wahyunya.Bila akal  manusia tidak dapat mengenal baik atau buruknya suatu perbuatan,maka dengan sendirinya akal manusia juga tidak dapat mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat.
2.      Kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sesuatu perbuatan dan materi perbuatan itu sendiri mengandung nilai baik atau buruk.akal manusia dapat mengetahui perbuatan itu baik atau buruk.suatu perbuatan akan dinilai baik oleh akal apabila perbuatan itu disenangi oleh manusia dan bermanfaat bagi manusia baik langsung dirasakan pada waktu itu atau di kemudian hari.umpamanya makan bagi orang yang lapar adalah suatu perbuatan baik pada waktu memakanya,namun bagi orang yang demam malaria dianggapnya baik manfaatnya dapat dirasakan kemudian.bila akal dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan,maka sebagai kelanjutannya akal memahami pula bahwa suatu perbuatan yang baik harus dilakukan;dan suatu perbuatan yang buruk harus ditinggalkan.
3.      Kelompok maturidiyah berpendapat bahwa pada suatu perbuatan dengan semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai  nilai baik dan buruk.Karna itu akal dapat menetapkan suatu perbuatan itu baik atau buruk.Selanjutnya dapat di pahami bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia melakukan suatu perbuatan buruk dan tidak akan mencegah manusia melakukan perbuatan baik.Dalam hal ini kelompok maturidiyah sependapat dengan kelompok mu’tazilah.Mengenai beban taklif atau yang berkenaan dengan beban hukum,kelompok ini berpendapat bahwa akal semata tidak akan dapat menetapkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus meninggalkan perbuatan buruk. Persoalan takhlif, dosa dan pahala hanya ditetapkan oleh wahyu Allah.           
C.  Pengertian Syariah dan Fikih Islam
      1. Pengertian Syari'ah.
 Syari'ah dalam pengertian etimologi adalah jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui oleh air sungai; sedangkan syari'ah dalam pengertian terminogi adalah  seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam lingkungan hidupnya. Sedangkan syari'ah dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga pengertian, yaitu :
1)      Syari'ah dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa;
2)      Syari'ah dalam pengertian hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjng masa maupun yang dapat berubah  sesuai perkembangan  masa; 
3)      Syari'ah dalam pengertian hukum-hukum yang terjadi  berdasarkan istinbath dari Alqur'an dan Alhadis, yaitu hukum yang diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh  para sahabat Nabi, hasil ijtihad dari para mujtahid dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli hukum Islam melalui metode qiyas dan metode ijtihad lainnya.
            Mahmud Syaltout dalam bukunya Al Islam Aqidah wa Syari'ah, ia memberikan definisi syari'ah sebagai peraturan yang  diturunkan oleh Allah kepada manusia agar dipedomani dalam  berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dalam kehidupannya.
2.  Pengertian Fiqh
Kata Fiqh (fikih dalam bahasa Indonesia) secara etimologi artinya paham, pengertian, dan pengetahuan. Fiqh secara terminologi adalah hukum-hukum syara' yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh  dari dalil-dalil yang terperinci.
Kalau fiqh dihubungankan dengan perkataan ilmu sehingga menjadi ilmu fiqh. Ilmu fiqh adalah ilmu yang bertugas menentu-kan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-kententuan yang terdapat dalam Alqur'an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam di dalam kitab-kitab Hadis. Dari  pengertian di atas menunjukkan bahwa antara syari'ah dan fiqh mempunyai hubungan yang sangat erat, yaitu dapat dibedakan tetapi tidak dapat dicerai pisahkan. Kedua istilah dimaksud, yaitu: (1) syari'at Islam dan (2) fikih Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syari'at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedangkan fikih Islam diterjemahkan dengan istilah Islamic Jurisprudence. Antara Syari'ah dan fiqh, terdapat perbedaan, yang apabila tidak dipahami dapat menimbulkan kerancuan yang dapat menimbulkan sikap salah kaprah terhadap fiqh. Fiqh diidentikkan dengan syari'ah. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan perbedaannya 
(1)   Syariah diturunkan oleh Allah, kebenarannya bersifat mutlak, sementara fiqh adalah hasil fikiran fuqaha dan kebe-narannya bersifat relatif;
(2)    Syari'ah adalah satu dan fiqh beragam, seperti adanya aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazhab-mazhab;
(3)   Syari'ah bersifat tetap atau tidak berubah, fiqh mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu,
Syari'at mempunyai ruang lingkupnya yang lebih luas, oleh banyak ahli dimasukkan juga akidah dan akhlak, sedang fiqh ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau al-syari'ah al-Islamy.
D. Hukum Sebelum Nabi Muhammad SAW di angkat sebagai Rasul      
 Sebelum rasulullah diangkat menjadi rasul Para ulama ushul fiqih berbeda beda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai rasul.Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya oleh sebab itu hakim adalah Allah SWT.dan yang  menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara.           
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat nabi Muhammad belum di angkat menjadi rasul adalah Allah SWT.Namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum hukum Allah SWT,dan menyingkap sebelum datangnya syara’. 

D. Hukum Setelah Nabi Muhammad diangkat Sebagai Rasul dan Menyebarnya dahwah Islam.
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah Syari’at yang turun dari Allah SWT, yang  dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah di halalkan oleh Allah hukumnya adalah halal yang disebut Hasan (baik), begitu pula apa yang di haramkan-Nya hukumnya haram yang disebut qabih (buruk).     Ada banyaknya pengertian yang di kemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang hasan dan qabih:     
            a. Alhusnu adalah segala perbuatan yang di anggap sesuai dengan tabiat manusia,misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qobih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
b.      Alhusnu diartikan sebagai sifat yang sempurna,misalnya kemuliaan dan pengetahuan sebaliknya,qobih diartikan sebagai sifat jelek, yakni kekurangan dalam diri seseorang.
c.       Alhusnu adalah sesuatu yang boleh di kerjakan oleh manusia, sedangkan qobih merupakan segala perbuatan yang tidak boleh di kerjakan oleh manusia .
d.      Alhusnu diartikan sebagai pekerjaan yang bila di kerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT kelak diakhirat, sebaliknya qobih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila di kerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain lain.
Pendapat diatas bertentangan dengan golongan mu’tazilah yang menyatakan bahwa hasan dan qobih dapat di ketahui dan di tentukan oleh akal, tanpa memerlukan pemberitahuan dari syara’menurut mereka sebagian yang atau yang buruk itu terletak pada zat nya, dan sebagian lainya terdapat di antara manfaat, mudarat, baik dan buruk.
E. Kemampuan akal mengetahui syari’at
Para  ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk menentukan hukum,sebelum turunya syariat:
a.       Menurut ahlusunnah wal jamaah,akal tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan hukum,sebelum turunya syari’at akal hanya bisa menetapkan baikj dan buruk melalui perantaraan Al quran dan rosul,serta kitab kitab samawi lainnya.
b.      Mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rosul.baik dan buruk itu di tentukan oleh zat nya,sehingga akal bisa menentukan syari’at alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang di kemukakan oleh ahlusunnah waljamaah.yaitu dalam surat Al-isra ayat 17, hanya mereka mengartikan rosul pada ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti keseluruhan ayat tersebut adalah:’’kami tidak akan mengazab seseorag sampai kami berikan akal padanya’’, menurut kaum mu’tazilah prinsip yang di pakai dalam menentukan sesuatu itu baik atau buruk adalah akal manusia, bukan syara.
Golongan mu’tazilah juga berpendapat bahwa syariat yang di tetapkan kepada manusia adalah sesuatu yang dicapai dengan akal yakni bisa di telusuri bahwa di dalamnya ada unsur manfaat atau mudorat dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara dan manusia di tuntut untuk mengerjakannya, sebaliknya sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek menurut syara dan manusia di larang mengerjakannya.
c.       Golongan maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat masalah di atas, mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zat nya, syara menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zat nya, adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya.
Maka Allah tidak wajib  memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baik menurut akal dan sebaliknya Allah pun tidak wajib memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal.
F. Kesimpulan:
Pembuat Hukum adalah Allah Subhanahu wataala. Hukum dimaksud, tercantum di dalam Al-Qur’an, baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Hukum yang bersifat umum dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw., dan ada juga yang dirinci oleh ahli hokum Islam. Selain itu, beban taklif atau yang berkenaan dengan beban hukum, bahwa akal semata tidak akan dapat menetapkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus meninggalkan perbuatan buruk, dosa dan pahala. Namun yang menentukan atau menetapkan adalah Allah Subhanahu wataala melalui Firmannya, dan Nabi Muhammad melalui hadisnya.
Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari'at atas kebutuhan masyarakat. Dalam khasanah ilmu hukum Islam di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata Islam. Jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.














DAFTAR  PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2008
-------------. Hukum Islam dalam Kajian Syari’ah dan Fikhi di Indonesia. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000
Haq. H. Hamka. Falsafat Ushul Fiqh. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 1998.
-------------------. Syariat Islam Wacana dan Penerapannya. Ujung Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2001.
Khallaf, Abdul Wahab.‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: Majelis al-‘Ala Indonisiy lil al-Da’wah al-Islamiyah, 1972.
Wahab Khallaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Diterje-mahkan oleh Noer Iskandar. Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Zuhri, Muh. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Cetakan kedua; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1997