Sabtu, 25 Juni 2011

BERDIRINYA NEGARA-NEGARA ISLAM MODERN

BERDIRINYA NEGARA-NEGARA ISLAM 
Oleh: Khairunnisa Zainuddin
A. Pendahuluan
   Para ahli hukum ketatanegaraan mengemukakan bahwa unsur-unsur berdirinya suatu negara terdiri atas: (a) Pemerintah, (b) Rakyat, dan (c) Wilayah. Budiarjo menjelaskan bahwa negara itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Wilayah, luasan tertentu tempat hidup warga negara dimana kekuasaan berlaku dengan batas wilayah tertentu yang besar kecilnya bersifat relatif.
2.      Penduduk, orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dimana kekuasaan negara menjangkau mereka, jumlahnya bersifat relatif.
3.      Pemerintah, organisasi negara yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya.
4.      Kedaulatan, kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia.
Selain itu, fungsi minimum suatu negara, apapun ideologinya, menurut Budiarjo adalah:
1. Melaksanakan penertiban (law an order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat.
2.  Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
3. Pertahanan; untuk menjaga kemungkinan serangan luar.  Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4.  Menegakkan keadilan; hal ini dilaksanakan melalui badan pengadilan.
Memperhatikan unsur-unsur, dan fungsi-fungsi negara di atas dapat kita sadari betapa keberadaan suatu negara bagi masyarakat baik modern maupun primitif adalah suatu keniscayaan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak heran kita melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan ada negara dengan bentuk dan system pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan dengan pemahaman ideologi yang dianut masyarakatnya. Ada negara kota Yunani, ada negara Kekaisaran Romawi, ada negara Kisra Persia, ada negara Firaun, ada negara kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, ada negara Raja Najasyi, ada negara Islam yang ditegakkan Nabi Muhammad saw yang dilanjutkan oleh para sahabat beliau saw yang menggantikannya yang disebut negara khilafah ala minhajin nubuwwah, ada negara monarki Inggris, Belanda, ada kekaisaran Jerman, Perancis, Austria, dan Rusia, Kekaisaran Cina dan Jepang, ada negara republik Jerman, Amerika Serikat, dan lain-lain. 
Di negara Republik Indonesia pernah dikenal kerajaan Kutai, Mataram Hindu, Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Pajajaran, Demak, Pajang, Mataram Islam, Banten, Goa, Republik Ternate, Tidore, Aceh, pernah menjadi propinsi koloni Belanda, Perancis (di masa Daendles), Inggris (di masa Raffles), dan Jepang, serta menjadi republik Indonesia.  Ya masyarakat manapun pasti memerlukan negara. 
Oleh karena itu, bagi masyarakat muslim kapan dan dimanapun, kecuali segelintir orang yang telah kehilangan akar Islamnya melalui pendidikan Barat, negara Islam (khilafah) itu adalah suatu keharusan.
B. Syarat-syarat Berdirinya Suatu Negara
Sebuah negara bisa berdiri apabila ia memiliki wilayah, rakyat, dan pemimpin bagi rakyat tersebut. Hubungan antara rakyat dan pemimpin terwujud dalam aturan-aturan yang sering disebut sebagai undang-undang.
Negara Islam merupakan negara yang didirikan atas dasar keyakinan (aqidah), bukan atas dasar letak geografis, etnis, ataupun aspek-aspek alam lainnya. Karena itu, Negara Islam bersifat universal (dan karenanya multietnis).
Khilafah Islam (Negara Islam), meskipun bersifat universal (‘alamiyyat), tidaklah harus berwilayahkan seluruh penjuru bumi, untuk bisa disebut sebagai sebuah negara (Islam). Negara Madinah pun hanya memiliki wilayah yang tidak terlalu luas, namun toh sudah bisa disebut sebagai sebuah negara Islam, bahkan sebuah negara ideal. Yang terpenting adalah bahwa wilayah tersebut dikuasai oleh satu payung kekuasaan. Satu wilayah tidak boleh dikuasai oleh lebih dari satu payung kekuasaan yang sama tinggi.
Karena berdirinya sebuah negara merupakan kontrak sosial, maka kontrak antara rakyat dan seorang pemimpin tertinggi merupakan faktor yang mesti ada. Tanpa kontrak tersebut, seluruh warga di wilayah tersebut tidak lebih hanyalah segerombolan manusia saja. Gerombolan-gerombolan manusia seperti itu bisa kita amati pada pola hidup masyarakat nomaden, yang senantiasa berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Untuk itulah, Islam telah mengarahkan manusia untuk hidup secara menetap dengan menyepakati suatu aturan hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Pola hidup menetap merupakan salah satu ciri manusia beradab. Dengan pola hidup menetap, manusia akan dapat menunaikan berbagai nilai kemanusiaan, yang sulit untuk dapat ditunaikan dengan pola hidup nomaden.
Aturan atau undang-undang merupakan unsur yang mesti ada dalam suatu negara. Undang-undang akan mengatur hubungan antar individu untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan bersama. Tanpa undang-undang, pola hidup manusia tidak akan berbeda dengan pola hidup hewan. Padahal, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihannya adalah untuk menjadi manusia, dan bukan untuk menjadi hewan.
C. Hakekat Negara Modern
Persoalan yang lebih esensial bagi kita adalah pembahasan mengenai hakikat dari suatu negara itu sendiri sehingga kita bisa memahami bagaimana suatu negara itu ditegakkan oleh masyarakatnya dan bagaimana suatu negara itu bisa roboh atau dirobohkan.   Syaikh Taqiyddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimah Dustur (hal 5-11) menulis bahwa munculnya suatu negara modern itu lantaran munculnya pemikiran-pemikiran modern yang menjadi landasan berdirinya negara modern tersebut dan terjadinya pergantian kekuasaan di dalamnya lantaran pergantian pemikiran. Ini bisa terjadi karena pemikiran modern  yang telah mewujud menjadi pemahaman (mafahim) --setelah difahami kebenaran makna yang dikandungnya itu akan mempengaruhi tingkah laku manusia dan menjadikan tingkah lakunya itu berjalan sesuai dengan mafahim yang dianutnya itu.
Mafahim kemoderenan dimaksud, menjadikan pandangannya tentang hidup pun berubah, dan pandangannya tentang kemaslahatan-kemaslahatan yang selalu dicarinya pun berubah.  Sementara itu kekuasaan itu pada hakikatnya adalah pemiliharaan atas kemaslahatan-kemaslahatan dan kontrol atas jalannya pemiliharaan tersebut. Oleh karena itu, pandangan hidup merupakan asas tegaknya negara dan asas adanya kekuasaan. Karena pandangan hidup itu sendiri dibentuk oleh pemikiran tertentu tentang hidup maka pemikiran tertentu itulah pada hakikatnya yang menjadi asas daulah dan dia pulalah sebenarnya asas kekuasaan. Karena pemikiran tertentu itu mewakili kumpulan pemahaman (mafahim), tolok ukur (maqayis), dan keyakinan (qona'ah) yang diadopsi oleh masyarakat maka pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan itulah yang dapat dianggap sebagai asas berdirinya negara dan kekuasaan hanyalah memelihara urusan masyarakat dan mengontrol agar pengaturan pemenuhan kemaslahatan manusia itu sesuai dengan kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan tersebut.  Dari sinilah negara dapat didefinisikan sebagai badan eksekutif yang melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang telah diterima oleh masyarakat.
Kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan itu ada yang dibangun dari pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi) dan ada juga yang dibangun dari pemikiran yang bukan pemikiran paling mendasar. Jika kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang menjadi asas tegaknya negara itu dibangun dari pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi), maka negara yang ditegakkan akan kokoh bangunannya, kuat pilarnya, dan stabil strukturnya. Sebab, negara tersebut disandarkan di atas pemikiran yang paling mendasar, yang tidak ada yang lebih dasar lagi, yaitu aqidah aqliyah. Dengan demikian negara yang kuat adalah yang ditegakkan di atas landasan aqidah aqliyah. Namun apabila suatu negara tidak ditegakkan di atas aqidah aqliyah, negara tersebut akan mudah dirobohkan dan dihancurkan lembaganya serta mudah didongkel kekuasaannya. Jadi negara yang kuat adalah negara yang dibangun di atas dasar aqidah aqliyah yang menghasilkan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang kuat pula. 
Sebagai contoh, adalah negara Islam yang dibangun di masa Rasulullah saw (abad ke 7 Masehi) yang telah terbukti mampu eksis selama 13 abad. Negara itu baru runtuh pada tahun 1924 (abad 20 Masehi) setelah kaum muslimin mengalami kemunduruan pemikiran terhadap kumpulan pemahaman (mafahim), tolok ukur halal haram, dan keyakinan-keyakinan (qona'ah) Islam. 
Pilihan bagi kaum muslimin yang tinggal di berbagai negara dengan basis nasionalisme (nation state) dengan berbagai system dan bentuk negaranya: tetap mengadopsi system negara bangsa (nation state) yang sangat lemah  ataukah berusaha kembali bersatu dalam satu payung negara khilafah yang bersifat supranasional dan berbasis aqidah aqliyah Islamiyah?. Tentu bagi yang mau berpikir jernih tidak ada pilihan kecuali memilih pilihan kedua. Dan secara syar'i, setiap muslim terikat untuk pernah berbaiat dalam pemilihan khalifah sebagaimana yang disebut dalam hadits Nabi Muhammad saw. (lihat Ismail R Al Faruqi dan Louis Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal 192). Artinya, setiap muslim punya kewajiban moral dan agama untuk senantiasa hidup di dalam naungan negara khilafah.  Diriwayatkan bahwa oleh Nafi' bahwa Umar bin Khaththab r.a. berkata bahwa dia mendengan Rasulullah saw. bersabda:
"Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiyamat tanpa memiliki hujjah.  Dan siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, maka matinya seperti mati jahiliyah".
Hadits tersebut tidak menunjukkan hukum bahwa setiap muslim harus melakukan prosesi memberikan baiat kepada khalifah (bai'at In'iqad), tapi dalam diri seorang muslim harus ada selalu ada bai'at (baiat tho'ah) kepada seorang khalifah (lihat An Nabhani, Al Khilafah, terj. Hal 3).  Artinya, setiap saat dalam kehidupan seorang muslim, semestinya ia menjadi warga negara Khilafah Islamiyah.
D. Struktur Sebuah Negara Modern
Imam Mawardi membagi lembaga-lembaga kekuasaan dibawah khalifah atas :
  1. Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan umum.
  2. Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan khusus.
  3. Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan umum.
  4. Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan khusus.
Pembagian Mawardi diatas harus dipahami dalam kerangka bahwa khalifah merupakan institusi tertinggi dalam negara, meskipun tidak secara serta merta bisa bertindak otoriter, karena kedaulatan tetap di tangan rakyat didalam bingkai nilai-nilai syariat.
Yang dimaksud oleh Mawardi dengan kekuasaan umum dengan lapangan umum adalah kementerian (al-wizarat). Kekuasaannya dikatakan umum karena meliputi suatu masalah secara umum. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi seluruh negeri. Yang dimaksud dengan kekuasaan umum dengan lapangan khusus adalah kegubernuran (kekuasaan daerah otonomi). Kekuasaannya dikatakan umum karena menyangkut segenap masalah dalam daerah otonomimya, namun lapangannya khusus karena kekuasaan tersebut hanya meliputi daerah otonominya saja. Lain halnya kekuasaan khusus dengan lapangan umum adalah lembaga-lembaga semacam  Mahkamah Agung, Panglima Besar Angkatan Perang, dan Lembaga Pengendali Keuangan Negara. Kekuasaan mereka dikatakan khusus karena hanya menangani masalah-masalah khusus. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi segenap negeri; Sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan khusus dengan lapangan khusus adalah lembaga-lembaga semacam Pengadilan Daerah, Lembaga Keuangan Daerah, Lembaga Militer Daerah, dan berbagai lembaga serupa yang ada di tingkat daerah / negara bagian.
Pembagian Mawardi diatas cukup sistematis. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, konteks yang dipakai adalah khalifah sebagai institusi tertinggi. Poin ini perlu ditegaskan karena di era modern telah muncul model kekuasaan dimana kepala negara bukanlah institusi tertinggi. Sebut saja sistem negara parlemen. Dalam sistem ini, parlemen merupakan institusi tertinggi dan bukan kepala negara.
Bagaimanakah keberadaan parlemen menurut Islam ? Dalam sistem Islam terdapat suatu lembaga yang mirip dengan parlemen, yang sering disebut sebagai ahlul hall wal ‘aqd. Namun lembaga ini tidaklah sama persis dengan parlemen. Ahlul hall wal ‘aqd hanya bertugas untuk menetapkan atau menurunkan khalifah (termasuk juga mengontrol khalifah), tidak lebih dari itu. Artinya, tatkala khalifah sudah terpilih dan dia sanggup berlaku adil maka ahlul hall wal ‘aqd seolah-olah tidak diperlukan lagi. Ahlul hall wal ‘aqd akan diperlukan lagi ketika khalifah tidak berlaku adil atau ketika khalifah perlu diturunkan. Jadi, institusi tertinggi adalah khalifah, namun pada suatu saat institusi tertinggi bisa diambil alih oleh ahlul hall wal ‘aqd, yang pada dasarnya berarti diambil alih oleh rakyat. Adapun mengenai kekuasaan yudikatif, agaknya hampir setiap sistem negara (termasuk sistem Islam) menempatkannya dalam posisi independen. Hal ini adalah niscaya karena hukum harus ditempatkan dalam posisi tertinggi, untuk menjamin keadilan bagi semuanya.
E. Negara Madinah Sebuah Model Negara Modern
Negara Madinah dibentuk diatas landasan sosio-politis ataukah diatas landasan agama? Pertanyaan dimaksud, sungguh amat menarik untuk dikaji dan telah menjadi sebuah perdebatan panjang antara pemikir Timur dan Barat. Dugaan bahwa Negara Madinah terbentuk hanya karena alasan-alasan sosio-politis muncul dari pemikiran yang menafikan posisi Nabi sebagai utusan Tuhan. Pengusung gagasan ini hanya menganggap Nabi sebagai manusia biasa yang sama sekali tidak memegang otoritas sebagai utusan Tuhan.  Sebaliknya, umat Islam berkeyakinan bahwa pendirian Negara Madinah merupakan wahyu dari Allah dan bukan semata-mata pemikiran sosio-politik Nabi. Lebih jauh lagi, umat Islam berkeyakinan bahwa Nabi merupakan teladan terbaik dalam segenap aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam masalah sosial politik. Oleh karena itu, Negara Madinah merupakan model negara ideal yang harus ditiru oleh umat Islam sepanjang masa.
F. Karakter Negara Madinah (Masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidin)
Segera setelah Nabi menginjak tanah Madinah, beliau melakukan lobi-lobi dengan berbagai elemen masyarakat Madinah untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Akhirnya, kesepakatan bersama itu bisa dicapai dan mengikat seluruh elemen masyarakat Madinah. Kesepakatan bersama itu sering disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah (Mitsaq al-Madinat). Konstitusi Madinah memuat aturan-aturan tentang interaksi antara warga Madinah, yang terdiri dari komunitas muslim, Ahlul Kitab, dan kaum paganis. Berangkat dari konstitusi inilah Negara Madinah dibangun. Negara Madinah, sebagai sebuah negara yang beribukotakan Madinah (Madinat al-Nabiy), berturut-turut diperintah oleh Rasulullah dan Khalifah Yang Empat.
Negara Madinah dibangun diatas nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang elegan. Pembinaan keimanan, keadilan bagi semua, kesamaan derajat (egaliterisme), dan keterbukaan merupakan beberapa diantaranya. Secara esensial, Negara Madinah merupakan suatu negara yang paling sophisticated yang pernah ada sepanjang jaman.
Untuk membentuk negara ideal semacam Madinah, dibutuhkan instrumen-instrumen yang tidak mudah untuk dicapai. Instrumen-instrumen yang dimaksud adalah pemimpin yang baik, rakyat yang baik, dan aturan (undang-undang) yang baik. Apabila salah satu saja diantara instrumen-instrumen tersebut tidak terpenuhi, maka negara ideal tidak akan bisa terwujud. Misalnya, kalaupun pemimpin dan undang-undangnya baik tetapi rakyatnya tidak baik, maka yang ada hanyalah pembangkangan-pembangkangan. Kalaupun rakyat dan undang-undangnya baik tetapi pemimpinnya tidak baik, maka yang ada hanyalah kelaliman-kelaliman penguasa. Kalaupun rakyat dan pemimpinnya baik tetapi aturannya masih buruk, maka masing-masing pihak akan melangkah dalam arah yang salah. Untuk bisa meluruskan langkah, mereka harus membuat aturan baru.
Diantara kepemimpinan khulafa’ rasyidun, kepemimpinan Abu Bakr dan ‘Umar merupakan kepemimpinan yang lebih utama, dari sisi tidak adanya (minimnya) gejolak-gejolak yang timbul. Namun dari sisi pribadi, tidaklah bisa dikatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar lebih mulia daripada yang lainnya, karena masing-masing dari keempat khalifah memiliki tantangan zaman yang berbeda. Tolok ukur terhadap pribadi-pribadi harus didasarkan pada bagaimana tindakan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, dan tidak didasarkan pada hasilnya.
Watak rakyat di masa Abu Bakr dan ‘Umar barangkali lebih baik daripada watak rakyat di masa Utsman dan Ali. Disamping itu, iklim dan tantangan politik di masa Utsman dan Ali jauh lebih berat dan kompleks daripada apa yang ada pada masa Abu Bakr dan ‘Umar. Timbulnya konflik tidaklah secara serta merta menyebabkan suatu negara menjadi buruk, tetapi bagaimana negara menangani konflik itulah yang akan menentukan baik buruknya suatu negara.
G. Hubungan Antar Negara (Darul Islam, Darul ‘Ahd, dan Darul Harb)
Dalam sistem politik Islam, status negara-negara dibedakan atas Darul Islam (Negara Islam), Darul ‘Ahd (Negara Dalam Perjanjian), dan Darul Harb (Negara Yang Diperangi). Sebetulnya klasifikasi ini merupakan hasil ijtihad para ulama, jadi bukan sesuatu yang dinashkan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kebanyakan para ulama mendefinisikan Darul Islam sebagai negara yang menerapkan hukum-hukum Islam dan diperintah oleh penguasa muslim. Darul ‘Ahd ialah negara non muslim yang mengikat perjanjian dengan Darul Islam bahwa mereka tidak akan memerangi Darul Islam dan akan membayar jizyah selama keamanan mereka dijamin oleh Darul Islam. Sementara Darul Harb ialah negara kafir yang menyerang Islam atau menghalang-halangi dakwah Islam.
Serupa dengan klasifikasi negara diatas ialah klasifikasi warganegara : muslim, kafir dzimmiy,kafir mu’ahhad dan kafir harbiy. Klasifikasi-klasifikasi dimaksud,  pada dasarnya didasarkan atas sabda Nabi bahwa sebelum pasukan Islam berangkat ke medan jihad, Nabi berpesan,”Sampaikanlah dakwah Islam. Jika mereka menerima (masuk Islam) maka darah mereka haram (untuk dibunuh). Namun jika mereka menolak, tawarkanlah dua pilihan : membayar jizyah atau diperangi”.
Perlu dicamkan bahwa pemahaman terhadap hadits diatas tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap konsep dakwah Islam. Karena Islam bersifat universal, maka Islam harus disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran opini Islam secara benar dan utuh tidak boleh dihalang-halangi atau dibiaskan. Dengan demikian umat manusia akan sanggup melihat wajah Islam yang sebenarnya. Selanjutnya manusia diberi kebebasan untuk memilih: ber-Islam atau tidak, tanpa ada paksaan sedikit pun juga. Kebebasan memilih inilah yang akan membawa manusia kepada pahala dan siksa. Jadi, yang dikehendaki oleh Islam adalah penyebaran opini (seruan) Islam tanpa penghalang. Negara Islam, dalam hal ini, bertugas untuk menyingkirkan segala bentuk penghalang bagi tersebarnya seruan Islam.

























DAFTAR PUSTAKA
 As-siba’I, Mustafa, Sari Sejarah Perjuangan Rasulullah SAW, Jakarta: Media Dakwah, 1997
As-siqa, Mushthafa,dkk, Sirah An-Nabawiyah li Ibni Hisyam, Beirut: Dar Ihya’ At-Turats al-‘Araby, Juz II
Azhary, Muhammad Thahir, Negara Hukum Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. I
Chalil, Moenawar, Kelengkapan Tarekh Nabi Muhammad. SAW, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Dalizar, Konsep Al-Quran Tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987
Haikal, Muhammad Husen, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2000
HAMKA, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, T.th,  Jilid I.
Kawiyan (Ed), Membangun Indonesia Yang Demokratis dan Berkeadilan, Gagasan, Pemikiran, dan Sikap Politik Yusril Ihza Mahendra, Jakarta; Global Publika, 2000
Nasution,  Harun, Islam di Tinjau dari berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985, Jilid.I.
Sou’yb, Joesoef, Sejarah Khulafa al-Rasydin,  Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan UUD 1945, Jakarta: UI Press, 1995
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, jilid.II.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar