Sabtu, 25 Juni 2011

PEMBUAT HUKUM (HAKIM )

PEMBUAT HUKUM (HAKIM )

Oleh: Khairunnisa Zainuddin
A. Latar Belakang
Untuk menguraikan latar belakang, maka penulis memberikan beberapa pengertian istilah Fiqh dan ushul fiqh, dan hukum, sehingga akan jelas, ada hukum yang dibuat oleh Pencipta manusia dan ada hukum yang dibuat oleh manusia yang asasnya bersumber dari Alqur’an dan hadis.  

Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari al-syari'ah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat disebut Islamic Law. Dalam Alqur'an dan Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun, yang digunakan adalah kata syari'at Islam, yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqh.

اِ ثْبَاتٌ شَئ عَلىَ شَئ اَوْ فـقـيه عنه

Artinya:
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya 
Dalam perkembangan ilmu fiqh/ushul fiqh yang demikian pesat, para ulama ushul fiqh telah menetapkan defenisi hukum Islam secara terminologi di antaranya yang dikemukakan oleh al Baidlawi dan Abu Zahra sebagai berikut: 
خِطَابُ الله اْلُمُتَعَلِّق بأفْعَالِ اْلمُكَلّفِـْيَن باِْلأقْتضَاءِ اَوِالتّخْيير اَوِاْلوَضَعِ
Artinya:
Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun bersifat wadl’iy (Al Baidlawi, 1982: 47).
 خِطَابُ الله اْلمُتَعَلقِ بِأَفْعَالِ اْلُمكَلّفِيْنَ طَلَباٌ اَوْ تَخْـيِـيْـرٌا اَوْوَضَعٌا


Artinya:
Khithab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan    orang mukallaf yang bersifat memerintahkan terwujudnya kemaslahatan dan mencegah terjadinya kejahatan, baik titah itu mengandung tuntutan (perintah dan larangan) atau semata-mata menerangkan pilihan (kebolehan memilih) atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang terhadap sesuatu hukum   (Muhammad Abu Zahrah, 1994: 26).  
Uraian di atas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum Islam. Sebab, kajiannya dalam perspektif hukum Islam, maka yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan manusia dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang bertalian dengan aqidah dan akhlaq.
Penyebutan hukum Islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at Islam atau fiqh Islam. Apabila syari’at Islam diterjemahkan sebagai hukum Islam (hukum in abstracto), maka berarti syari’at Islam yang difahami dalam makna yang sempit. Karena kajian syari’at Islam meliputi aspek i’tiqadiyah, khuluqiyah dan ‘amal syar’iyah. Sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari fiqh Islam, maka hukum Islam termasuk bidang kajian ijtihadi yang bersifat dzanni.
Pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Kalau demikian adanya, maka kedudukan fiqh Islam bukan lagi sebagai “hukum Islam in abstracto” (pada tataran fatwa atau doktrin) melainkan sudah menjadi “hukum Islam in concreto” (pada tataran aplikasi atau pembumian). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yaitu aturan yang mengikat dalam suatu negara.
Untuk mendapatkan kejelasan pengertian hukum Islam, akan dikemukakan pengertian syari'ah dan  fiqh sebagai berikut.
B.  Pengertian hakim
             Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti,yaitu:
 Pertama:
  وَا ضِعُ اْلاَحكَامِ وَ مُْشبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
Artinya:
          pembuat hukum,yang menetapkan,memunculkan sumber hukum.

 Kedua:
الذِيْ يُدْ رِ كُ اْلاَ حْكَا مِ وَ يُظْهِرُهَا وَيُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ عَنْهَا
Artinya:
           yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.  

                  Dari defenisi diatas dapat di pahami bahwa(pembuat hukum)dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan dia pula yang menetapkan aturan aturan bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan kehidupan dunia maupun untuk kepentingan hidup akhirat. Hakim termasuk persoalan yang penting dalam ushul fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syariat islam,atau pembuat hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Di sepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at. Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan masalah peranan akal dalam menentukan baik buruknya segala sesuatu, Sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk di kenakan sangsi. 
Dari pengertian pertama tentang hakim diatas ,dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT,dialah pembuat hukum dan satu satunya pembuat hukum,dalam islam tidak ada syariat kecuali dari Allah SWT.

Tentang Kedudukan Allah sebagai satu-satunya Pembuat Hukum dalam pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam. Masalahnya adalah bahwa Allah debagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenal melalui perantara yang ditetapkan Allah itu, dalam hal ini adalah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1.      Pendapat mayoritas ulama Ahlusunnah mengatakan, bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan  Hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Menurut paham ini seorang manusia dapat  dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau berdosa bila telah datang Rasul membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang rasul.
2.       Kalangan ulama Kalam Mu’tazilah yang berpendapat bahwa memang rasulullah adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian, seandainya rasul belum datang mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, tetapi melalui akal yang diberikan Allah kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenal hukum allah itu. Atas dasar pendapat ini,maka sebelum kedatangan rasul pembawa hukum Allah itu, manusia telah dianggap patuh atau ingkar kepada Allah dan telah dianggap berhak mendapat balasan(pahala dan dosa) .

            Perbedaan pendapat di kalangan 2 kelompok ini terletek pada adanya taklif sebelum datangnya Rasul. Kelompok Ahlusunah menetapkan tidak ada taklif sebelum datangnya Rasul, karena jika hanya semata-mata dengan akal, manusia tidak mugkin dapat mengenal hokum Allah. Sedangkan ulama Mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya Rasul karma aakal manusia dapat menilai baik dan buruknya perbuatan manusia atas penilaian itu, maka akal mendorong manusia untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini berarti bahwa akal manusia dapat menyuruh manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Inilah yang dimaksud dengan taklif itu.
            Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa titik perbedaan pendapat 2 kelompok itu terletak dalam 2 hal:Pertama, nilai baik dan buruk dalam suatu perbuatan, kedua nilai baik dan buruk itu mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam memahami 2  hal tersebut terdapat 3 kelompok ulama:
1.      Kelompok Asy’ariyah ( Ahlusunah ) berpendapat bahwa suatu perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia tidak dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan.baik dan buruknya suatu perbuatan terletak pada disuruh atau dilarangnya oleh Allah melalui wahyunya.Bila akal  manusia tidak dapat mengenal baik atau buruknya suatu perbuatan,maka dengan sendirinya akal manusia juga tidak dapat mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat.
2.      Kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sesuatu perbuatan dan materi perbuatan itu sendiri mengandung nilai baik atau buruk.akal manusia dapat mengetahui perbuatan itu baik atau buruk.suatu perbuatan akan dinilai baik oleh akal apabila perbuatan itu disenangi oleh manusia dan bermanfaat bagi manusia baik langsung dirasakan pada waktu itu atau di kemudian hari.umpamanya makan bagi orang yang lapar adalah suatu perbuatan baik pada waktu memakanya,namun bagi orang yang demam malaria dianggapnya baik manfaatnya dapat dirasakan kemudian.bila akal dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan,maka sebagai kelanjutannya akal memahami pula bahwa suatu perbuatan yang baik harus dilakukan;dan suatu perbuatan yang buruk harus ditinggalkan.
3.      Kelompok maturidiyah berpendapat bahwa pada suatu perbuatan dengan semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai  nilai baik dan buruk.Karna itu akal dapat menetapkan suatu perbuatan itu baik atau buruk.Selanjutnya dapat di pahami bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia melakukan suatu perbuatan buruk dan tidak akan mencegah manusia melakukan perbuatan baik.Dalam hal ini kelompok maturidiyah sependapat dengan kelompok mu’tazilah.Mengenai beban taklif atau yang berkenaan dengan beban hukum,kelompok ini berpendapat bahwa akal semata tidak akan dapat menetapkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus meninggalkan perbuatan buruk. Persoalan takhlif, dosa dan pahala hanya ditetapkan oleh wahyu Allah.           
C.  Pengertian Syariah dan Fikih Islam
      1. Pengertian Syari'ah.
 Syari'ah dalam pengertian etimologi adalah jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui oleh air sungai; sedangkan syari'ah dalam pengertian terminogi adalah  seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam lingkungan hidupnya. Sedangkan syari'ah dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga pengertian, yaitu :
1)      Syari'ah dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa;
2)      Syari'ah dalam pengertian hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjng masa maupun yang dapat berubah  sesuai perkembangan  masa; 
3)      Syari'ah dalam pengertian hukum-hukum yang terjadi  berdasarkan istinbath dari Alqur'an dan Alhadis, yaitu hukum yang diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh  para sahabat Nabi, hasil ijtihad dari para mujtahid dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli hukum Islam melalui metode qiyas dan metode ijtihad lainnya.
            Mahmud Syaltout dalam bukunya Al Islam Aqidah wa Syari'ah, ia memberikan definisi syari'ah sebagai peraturan yang  diturunkan oleh Allah kepada manusia agar dipedomani dalam  berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dalam kehidupannya.
2.  Pengertian Fiqh
Kata Fiqh (fikih dalam bahasa Indonesia) secara etimologi artinya paham, pengertian, dan pengetahuan. Fiqh secara terminologi adalah hukum-hukum syara' yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh  dari dalil-dalil yang terperinci.
Kalau fiqh dihubungankan dengan perkataan ilmu sehingga menjadi ilmu fiqh. Ilmu fiqh adalah ilmu yang bertugas menentu-kan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-kententuan yang terdapat dalam Alqur'an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam di dalam kitab-kitab Hadis. Dari  pengertian di atas menunjukkan bahwa antara syari'ah dan fiqh mempunyai hubungan yang sangat erat, yaitu dapat dibedakan tetapi tidak dapat dicerai pisahkan. Kedua istilah dimaksud, yaitu: (1) syari'at Islam dan (2) fikih Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syari'at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedangkan fikih Islam diterjemahkan dengan istilah Islamic Jurisprudence. Antara Syari'ah dan fiqh, terdapat perbedaan, yang apabila tidak dipahami dapat menimbulkan kerancuan yang dapat menimbulkan sikap salah kaprah terhadap fiqh. Fiqh diidentikkan dengan syari'ah. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan perbedaannya 
(1)   Syariah diturunkan oleh Allah, kebenarannya bersifat mutlak, sementara fiqh adalah hasil fikiran fuqaha dan kebe-narannya bersifat relatif;
(2)    Syari'ah adalah satu dan fiqh beragam, seperti adanya aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazhab-mazhab;
(3)   Syari'ah bersifat tetap atau tidak berubah, fiqh mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu,
Syari'at mempunyai ruang lingkupnya yang lebih luas, oleh banyak ahli dimasukkan juga akidah dan akhlak, sedang fiqh ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari al-fiqh al-Islamy atau al-syari'ah al-Islamy.
D. Hukum Sebelum Nabi Muhammad SAW di angkat sebagai Rasul      
 Sebelum rasulullah diangkat menjadi rasul Para ulama ushul fiqih berbeda beda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai rasul.Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya oleh sebab itu hakim adalah Allah SWT.dan yang  menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara.           
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat nabi Muhammad belum di angkat menjadi rasul adalah Allah SWT.Namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum hukum Allah SWT,dan menyingkap sebelum datangnya syara’. 

D. Hukum Setelah Nabi Muhammad diangkat Sebagai Rasul dan Menyebarnya dahwah Islam.
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah Syari’at yang turun dari Allah SWT, yang  dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah di halalkan oleh Allah hukumnya adalah halal yang disebut Hasan (baik), begitu pula apa yang di haramkan-Nya hukumnya haram yang disebut qabih (buruk).     Ada banyaknya pengertian yang di kemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang hasan dan qabih:     
            a. Alhusnu adalah segala perbuatan yang di anggap sesuai dengan tabiat manusia,misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qobih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
b.      Alhusnu diartikan sebagai sifat yang sempurna,misalnya kemuliaan dan pengetahuan sebaliknya,qobih diartikan sebagai sifat jelek, yakni kekurangan dalam diri seseorang.
c.       Alhusnu adalah sesuatu yang boleh di kerjakan oleh manusia, sedangkan qobih merupakan segala perbuatan yang tidak boleh di kerjakan oleh manusia .
d.      Alhusnu diartikan sebagai pekerjaan yang bila di kerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT kelak diakhirat, sebaliknya qobih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila di kerjakan, seperti maksiat, mencuri, dan lain lain.
Pendapat diatas bertentangan dengan golongan mu’tazilah yang menyatakan bahwa hasan dan qobih dapat di ketahui dan di tentukan oleh akal, tanpa memerlukan pemberitahuan dari syara’menurut mereka sebagian yang atau yang buruk itu terletak pada zat nya, dan sebagian lainya terdapat di antara manfaat, mudarat, baik dan buruk.
E. Kemampuan akal mengetahui syari’at
Para  ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk menentukan hukum,sebelum turunya syariat:
a.       Menurut ahlusunnah wal jamaah,akal tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan hukum,sebelum turunya syari’at akal hanya bisa menetapkan baikj dan buruk melalui perantaraan Al quran dan rosul,serta kitab kitab samawi lainnya.
b.      Mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rosul.baik dan buruk itu di tentukan oleh zat nya,sehingga akal bisa menentukan syari’at alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang di kemukakan oleh ahlusunnah waljamaah.yaitu dalam surat Al-isra ayat 17, hanya mereka mengartikan rosul pada ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti keseluruhan ayat tersebut adalah:’’kami tidak akan mengazab seseorag sampai kami berikan akal padanya’’, menurut kaum mu’tazilah prinsip yang di pakai dalam menentukan sesuatu itu baik atau buruk adalah akal manusia, bukan syara.
Golongan mu’tazilah juga berpendapat bahwa syariat yang di tetapkan kepada manusia adalah sesuatu yang dicapai dengan akal yakni bisa di telusuri bahwa di dalamnya ada unsur manfaat atau mudorat dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara dan manusia di tuntut untuk mengerjakannya, sebaliknya sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek menurut syara dan manusia di larang mengerjakannya.
c.       Golongan maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat masalah di atas, mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zat nya, syara menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zat nya, adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya.
Maka Allah tidak wajib  memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baik menurut akal dan sebaliknya Allah pun tidak wajib memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal.
F. Kesimpulan:
Pembuat Hukum adalah Allah Subhanahu wataala. Hukum dimaksud, tercantum di dalam Al-Qur’an, baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Hukum yang bersifat umum dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw., dan ada juga yang dirinci oleh ahli hokum Islam. Selain itu, beban taklif atau yang berkenaan dengan beban hukum, bahwa akal semata tidak akan dapat menetapkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus meninggalkan perbuatan buruk, dosa dan pahala. Namun yang menentukan atau menetapkan adalah Allah Subhanahu wataala melalui Firmannya, dan Nabi Muhammad melalui hadisnya.
Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari'at atas kebutuhan masyarakat. Dalam khasanah ilmu hukum Islam di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata Islam. Jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.














DAFTAR  PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2008
-------------. Hukum Islam dalam Kajian Syari’ah dan Fikhi di Indonesia. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000
Haq. H. Hamka. Falsafat Ushul Fiqh. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 1998.
-------------------. Syariat Islam Wacana dan Penerapannya. Ujung Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2001.
Khallaf, Abdul Wahab.‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: Majelis al-‘Ala Indonisiy lil al-Da’wah al-Islamiyah, 1972.
Wahab Khallaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Diterje-mahkan oleh Noer Iskandar. Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Zuhri, Muh. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Cetakan kedua; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar